Eksistensi mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, di yakini memiliki nilai dan peran lebih, sehingga status sosialnya cukup di perhitungkan. Kemampuan intelektual, skill, keterampilan dan yang tidak kalah mungkin kemampuan verbal dalam menghadapi dan mempengaruhi masyarakat adalah sederetan nilai tawar bagi mahasiswa. di banding dengan kaum muda seusianya. Maka, tidaklah berlebihan jika mahasiswa di anggap sebagai komunitas “maha”. Dalam peranannya, mahasiswa sangat berarti bagi masyarakat, baik dalam hal pemikiran, tenaga maupun lainnya. Sehingga akan sangat naïf jika kemampuan tersebut tidak
termanifestasikan secara empiris. Secara akademik, Perguruan Tinggi sebagai rahim intelektual mahasiswa, mempunyai misi untuk masyarakat. Misi yang di kenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi (pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat) tersebut, merupakan wahana untuk membekali mahasiswa dalam menghadapi masyarakat nantinya. Karena gelombang zaman meniscayakan masyarakat untuk semakin cerdas dan tanggap, dan mahasiswalah yang akan menjadi motor penggeraknya, untuk mengawali semua itu.
Kenyataan-kenyataan seperti ini yang selalu kita harapkan bersama demi menjadi mahsiswa yang produktif (mahasiswa yang siap pakai). Mahasiswa yang menjadi tolak ukur intelektual bagi masyarakat. Akan tetapi kita sebagai mahsiswa juga perlu tahu akan jati diri yang sesungguhnya yaitu “maha”. Secara Pengabdian kepada masyarakat bagi mahasiswa merupakan sesuatu yang tak dapat dielakkan. Mengingat masyarakat sebagai komunitas besar dari individu, menuntut untuk mencapai kehidupan yang sejahetera. Maka sebuah ketepatan ketika Perguruan tinggi mempunyai Tri darma, meski harus membayar mahal untuk konsisten dalam implementasinya. Sampai di sini, menarik kemudian untuk membaca sejauh mana peran dan pengabdian mahasiswa bagi masyarakat. Dan sejauh mana perguruan tinggi memberikan pengajaran tentang tri darma kepada mahasiswa.
Fakultas dakwah yang kemudian menjadi barometer mahasiswa dalam pertumbuhan diri baik komunikasi mapun pengembangan tidak ubah seperti pendidikan. Contoh riil keadaan ini adalah alumni fakultas dakwah dan komunikasi IAIN Mataram 90% menjadi tenaga pengajar pondok pesantren. Akan tetapi secara umum kita memandang bahwa IAIN Mataram sebagai bagian dari realitas Perguruan Tinggi, mempunyai tugas yang sama dalam membekali mahasiswanya untuk menghadapi masyarakat. Secara ideal, lewat tri darmanya. IAIN Mataram memang sudah mendeklarasikan niatan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tetapi dalam ranah empiris, apakah hal ini sudah terwujud, adalah pertanyaan besar yang harus di jawab. Konsepsi akademik yang menempatkan masyarakat sebagai satu kesatuan akademik, baik dalam ranah pendidikan, penelitian maupun pengabdian.
Mahasiswa, Bukan Ilmu untuk Ilmu. Sebuah maqolah – yang sering di nisbatkan sebagai sebuah hadis, “al ilmu bila amalin ka al syajarotu bila tsamarin”, ilmu yang tidak di amalkan, bagaikan pohon yang tak berbuah. Jelas, buah dari pada ilmu adalah amal. Sehingga, sangatlah naïf ketika mahasiswa dan pasca pendidikan tidak mampu mengamalkan ilmunya. Dalam hal ini, ilmu bukan untuk ilmu, tapi ilmu untuk di amalkan kepada manusia. Perlu diakui, bahwa pendidikan di IAIN Mataram semata–mata hanyalah gradasi memperoleh ijazah, selebihnya tidak. Sehingga, proses pendidikan yang dilakukan mahasiswa hanya sebagai formalitas untuk mencapai gelar kesarjanaan. Hal ini juga sepertinya diamini oleh IAIN, yang nota bene sebagai lembaga yang bermisi pengabdian masyarakat. Ini dapat dilihat dari nuansa akademik yang ada. Muatan mata Kuliah yang idealnya adalah pembekalan mahasiswa untuk hidup di masyarakat, seakan didesain tidak demikian.
0 komentar:
Posting Komentar
kritik dan saran merupakan awal untuk melakukan hal yang lebih baik lagi untuk kami. thanks.