“Didiklah Anak-Anakmu Itu Berlainan Dengan Keadaanmu Sekarang, Karena
Mereka Telah Dijadikan Tuhan Untuk Zaman Yang Bukan Zamanmu (Umar bin Khathab)”.
Politik diperlukan, tetapi jika sebuah politik malah menjadikan mahasisiwa terlantar apalah artinya sebuah rekayasa, yang hanya akan melahirkan konflik semata. Posisi akan menambah keterpurukan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat). Tidak hanya sebatas itu saja. Konsekuensi logisnya, para elite penguasa kampus terpaksa harus mengingkari akal sehat keilmuannya dan bisikan kebenaran nuraninya, akibat dorongan egosentrisme/chauvinisme ekstrim yang tumbuh dalam jiwa dan pikirannya. Sehingga terjadilah degradasi moralitas intelektual (M Hamka, Serambi:19/04/2010) dan akhirnya kekuasaan menjadi berhala (Hasan Basri M. Nur, Serambi:14/04/2010). Karakter sistemik inilah yang melahirkan banyak prilaku negatif dalam kehidupan kampus, seperti kemunafikan, kepalsuan, kejumudan pikiran, dan ketidak-arifan dalam menghadapi berbagai perbedaan.
Juga sikap-sikap elitis-feudalis tertutup dan aksi-aksi pembodohan, manipulasi dan korupsi. Sementara orang-orang yang jujur dan kritis terpaksa harus disingkirkan. Karena dipandang mengganggu hidden agenda para penguasa dan bahkan dijadikan musuh bersama. Itulah sebabnya Paolo Friere berkesimpulan, bahwa institusi pendidikan di negara-negara rezim otoriter-sentralistik, telah menjadi tempat berlangsungnya praktek kapitalisme-hedonist yang licik dan gastrosofik. (“perut” yang serakah). Kemudian Margaret Mead, filosof pendidikan Inggris, juga mengungkapkan sinismenya terhadap institusi persekolahan, termasuk kampus, dengan menyatakan: “nenek ingin aku memeroleh pendidikan, karenanya ia melarang aku sekolah” (M. Escobar, Sekolah: Kapitalisme yang Licik, LKiS, 1997).
Penilaian itu lahir dari kenyataan, betapa lembaga pendidikan tidak lagi menjadi pusat penumbuhan nilai-nilai moral yang jujur, kritis, terbuka dan merdeka. Juga tidak lagi membina kepekaan sosial dan kemandirian peserta didik, agar mereka siap mengusung tata-krama kehidupan bersama yang saling percaya, saling menguntungkan dan penuh solidaritas sosial. Sehingga perikehidupan yang baik menjadi rusak setelah anak-anak memasuki lembaga-lembaga sekolah, terutama di perguruan tinggi. Meskipun kemudian banyak institusi sekolah tersebut berhasil memproduksi banyak “guru besar.” Walau dengan derajat kejujuran dan otentisitas keilmuannya yang sungguh menjadi masalah tersendiri. Sehingga kampus menjadi mandul dan gagal melahirkan para “ulil-albab” sebagaimana yang dimaksudkan dan diharapkan Quran (3:191). Ada sejumlah hal struktural sebagai sebab-sebab awal yang membuat kampus kehilangan kesucian ilmiahnya. Antara lain, Pertama, pilihan sistem pengelolaan dan kepemimpinan kampus yang tidak demokratis, tidak akuntabel, tidak partisipatif, elitis dan tertutup. Sistem ini warisan Orba yang masih dipertahankan sebagai statuta kampus, dimana kepemimpinan lembaga Senat dan Dekanat/ Rektorat berada di tangan penguasa tunggal (Dekan/Rektor). Artinya antara kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak dipisahkan secara tegas dan fungsional. Sehingga pengawasan internal, pertanggungjawaban publik yang akuntabel dan transparansi atas pelaksanaan amanah kepemimpinan sama sekali tidak pernah terjadi sepanjang sejarah kepemimpinan kampus di Indonesia. Sementara itu, sistem rekrutmen keanggotaan senat Fakultas/Institut-Universi tas yang mayoritas anggotanya.. ((By : Hamdan) rayon al-ghazali fakultas dakwah dan komunikasi IAIN Mataram )
Juga sikap-sikap elitis-feudalis tertutup dan aksi-aksi pembodohan, manipulasi dan korupsi. Sementara orang-orang yang jujur dan kritis terpaksa harus disingkirkan. Karena dipandang mengganggu hidden agenda para penguasa dan bahkan dijadikan musuh bersama. Itulah sebabnya Paolo Friere berkesimpulan, bahwa institusi pendidikan di negara-negara rezim otoriter-sentralistik, telah menjadi tempat berlangsungnya praktek kapitalisme-hedonist yang licik dan gastrosofik. (“perut” yang serakah). Kemudian Margaret Mead, filosof pendidikan Inggris, juga mengungkapkan sinismenya terhadap institusi persekolahan, termasuk kampus, dengan menyatakan: “nenek ingin aku memeroleh pendidikan, karenanya ia melarang aku sekolah” (M. Escobar, Sekolah: Kapitalisme yang Licik, LKiS, 1997).
Penilaian itu lahir dari kenyataan, betapa lembaga pendidikan tidak lagi menjadi pusat penumbuhan nilai-nilai moral yang jujur, kritis, terbuka dan merdeka. Juga tidak lagi membina kepekaan sosial dan kemandirian peserta didik, agar mereka siap mengusung tata-krama kehidupan bersama yang saling percaya, saling menguntungkan dan penuh solidaritas sosial. Sehingga perikehidupan yang baik menjadi rusak setelah anak-anak memasuki lembaga-lembaga sekolah, terutama di perguruan tinggi. Meskipun kemudian banyak institusi sekolah tersebut berhasil memproduksi banyak “guru besar.” Walau dengan derajat kejujuran dan otentisitas keilmuannya yang sungguh menjadi masalah tersendiri. Sehingga kampus menjadi mandul dan gagal melahirkan para “ulil-albab” sebagaimana yang dimaksudkan dan diharapkan Quran (3:191). Ada sejumlah hal struktural sebagai sebab-sebab awal yang membuat kampus kehilangan kesucian ilmiahnya. Antara lain, Pertama, pilihan sistem pengelolaan dan kepemimpinan kampus yang tidak demokratis, tidak akuntabel, tidak partisipatif, elitis dan tertutup. Sistem ini warisan Orba yang masih dipertahankan sebagai statuta kampus, dimana kepemimpinan lembaga Senat dan Dekanat/ Rektorat berada di tangan penguasa tunggal (Dekan/Rektor). Artinya antara kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak dipisahkan secara tegas dan fungsional. Sehingga pengawasan internal, pertanggungjawaban publik yang akuntabel dan transparansi atas pelaksanaan amanah kepemimpinan sama sekali tidak pernah terjadi sepanjang sejarah kepemimpinan kampus di Indonesia. Sementara itu, sistem rekrutmen keanggotaan senat Fakultas/Institut-Universi